Table of Content

Posts

Membangun Budaya Anti-Korupsi : Belajar dari Dunia, Bercermin pada Indonesia.


Foto/ E. Nita Juwita, S.H.,M.H

Di banyak negara, korupsi dianggap bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga luka moral yang menggerogoti legitimasi negara. Indonesia sejak lama mencoba membangun budaya anti-korupsi, tapi selalu terjebak di antara niat besar dan kenyataan pahit. Pertanyaan sederhana pun muncul : kalau negara lain bisa, mengapa kita seakan jalan di tempat?

Mari kita tengok beberapa negara yang kerap dijadikan benchmark.

Korea Selatan misalnya, berani menindak pejabat tinggi, bahkan presiden mereka sendiri bisa dipenjara. Hukuman bagi “ikan besar” menciptakan efek jera dan menegakkan prinsip bahwa hukum tak kenal pangkat. Di sana, korupsi bukan hanya kriminal, tapi juga aib sosial. Bandingkan dengan Indonesia, di mana vonis terhadap elite sering kali terasa penuh kompromi, bahkan kadang malah berakhir dengan remisi atau jabatan baru.

Hong Kong pada 1970-an adalah sarang pungli. Polisi korup, birokrasi kotor. Lalu pemerintah membentuk ICAC, lembaga independen yang langsung di bawah gubernur. ICAC tak hanya menindak, tapi juga mencegah dan mendidik publik. Dalam 10–15 tahun, Hong Kong berubah drastis. Sementara itu, di Indonesia, KPK sempat punya arah serupa, independen, dipercaya rakyat, berani melawan arus. Namun belakangan, alih-alih diperkuat, justru dikebiri oleh regulasi dan intervensi politik.

Georgia dan Rwanda adalah contoh reformasi radikal. Georgia berani membubarkan kepolisian lama yang penuh korupsi dan membangun sistem digital. Rwanda, pasca-genosida, menata ulang birokrasi dengan digitalisasi layanan publik dan sikap “zero tolerance.” Hasilnya? Layanan menjadi cepat, transparan, dan minim pungli. Di Indonesia, digitalisasi sudah dimulai, tapi sering berhenti di tengah jalan, karena sistem baru sering berbenturan dengan kepentingan lama yang masih ingin menikmati rente.

Singapura punya resep berbeda. Mereka menaikkan gaji pejabat dan birokrat tinggi, agar sebanding dengan tanggung jawab dan risiko jabatan. Logikanya: kalau gaji tinggi, tidak ada alasan untuk mencuri. Tapi di Indonesia, narasi soal gaji sering membingungkan. Secara nominal, gaji pokok birokrat memang terlihat kecil. Namun kalau dihitung tunjangan, fasilitas, perjalanan dinas, honorarium, hingga “jatah-jatah kebijakan”—sebenarnya total kompensasi pejabat dan birokrat jauh di atas rata-rata rakyat. Bandingkan dengan UMR buruh atau rata-rata penghasilan petani dan pekerja informal: jurangnya berkali-kali lipat. Jadi, masalah utama kita bukan pada gaji yang rendah, melainkan pada kultur yang mentolerir “fasilitas” abu-abu, dan cara negara membungkus privilege birokrat dalam kebijakan.

Lalu, Apa yang Bisa Dipetik?

1. Korea Selatan & Hong Kong mengingatkan kita bahwa penegakan hukum terhadap elite adalah syarat mutlak. Selama yang dihukum hanya “ikan teri,” budaya korupsi akan terus hidup.

2. Georgia & Rwanda menunjukkan bahwa digitalisasi bisa memutus rantai pungli. Tapi digitalisasi harus total, bukan sekadar aplikasi setengah jalan yang akhirnya hanya jadi alat pungutan baru.

3. Singapura memberi pelajaran bahwa gaji yang layak penting, tapi lebih penting lagi adalah rule of law. Tanpa hukum tegas, gaji berapapun bisa tetap dilapisi korupsi.

Refleksi Indonesia 

Indonesia sebetulnya punya potensi besar. KPK dulu sempat jadi tumpuan harapan, digitalisasi pelayanan publik mulai berjalan, dan ada kesadaran publik yang semakin kuat untuk menolak korupsi. Tapi semua itu sering kandas karena politik transaksional, kompromi elite, serta budaya birokrasi yang masih membungkus “privilege” sebagai fasilitas resmi.

Kalau kita ingin membangun budaya anti-korupsi yang serius, kita harus belajar dari dunia :

berani tegas pada elite, serius dalam digitalisasi, dan jujur soal kesejahteraan birokrat: akui bahwa sebenarnya mereka sudah jauh di atas rata-rata rakyat, jadi alasan “gaji kecil” bukan lagi pembenaran untuk korupsi.

Dengan kata lain, tugas Indonesia bukan sekadar menambah lembaga atau menulis pasal baru, melainkan membongkar absurditas lama: kita ingin bebas dari korupsi, tapi masih suka kompromi dengan koruptor.


Penulis : E. Nita Juwita, SH., MH